Selasa, 13 Maret 2012

Ingin Menjadi Sahabat Rosulullah di Surga...???


Rasulullah SAW merupakan sosok teladan yang terkenal dengan perhatian dan kasih sayangnya kepada anak yatim. Bukan saja karena beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, tetapi juga karena al-Qur’an memberi tempat istimewa bagi golongan ini.

Anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal sedang mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim yang masih ada hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya, ataupun dari orang lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali hafizhahullah ketika mengomentari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut: 

كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى 

"Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.”

Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya".  [HR Muslim, no. 2.983. Bahjatun Nazhirin (I/ 350)]. Beliau hafizhahullah berkata, "Makna لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ adalah kerabatnya ataupun ajnabi (orang lain). Sedangkan (yang termasuk) kerabat di sini, ialah ibu sang yatim, atau saudara laki-lakinya ataupun pihak-pihak selain mereka yang memiliki kekerabatan dengannya. Wallahu a’lam." [Bahjatun Nazhirin (I/350)]

Sebagian fuqaha juga memasukkan dalam kategori anak yatim ini, yaitu mereka yang kehilangan orang tuanya karena sakit dalam waktu yang sangat lama, atau karena perceraian, safar, jihad, hilang dan sebab-sebab lainnya. Dan seorang anak yatim akan keluar dari batasannya sebagai yatim, ketika ia telah mencapai usia baligh, sesuai dengan hadits Nabi SAW:

لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ

"Tidak ada keyatiman setelah baligh ......" 
[Sunan Abu Dawud, no. 2.873. Lihat Tafsir Ibni Katsir (II/ 215), tafsir ayat ke 6 dari surat An Nisa’]

مَنْ ضَمَّ يَتِيْمًا بَيْنَ أَبَوَيْنِ مُسْلِمَيْنِ فِيْ طَعَامِهِ وَ شَرَابِهِ حَتَّى يَسْتَغْنِيَ عَنْهُ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ

“Barang siapa yang mengikutsertakan seorang anak yatim diantara dua orang tua yang muslim, dalam makan dan minumnya, sehingga mencukupinya maka ia pasti masuk surga.” 
[HR. Abu Ya'la dan Thobroni, Shohih At Targhib, Al-Albaniy : 2543]. 

Dalam hadits tersebut, Rasulullah memberikan permisalan yang sangat gamblang tentang luhurnya kedudukan pemelihara anak yatim. Bahwa di surga nanti mereka memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bagaikan dekatnya jari telunjuk dan jari tengah yang tiada tirai pemisah diantara keduanya. Tentulah hal tersebut merupakan dambaan setiap Muslim yang bertaqwa, menjadi sahabat Rosulullah di surga-Nya.

Kedua hadits tersebut menerangkan dengan jelas bahwa Nabi Saw memberi perhatian lebih kepada anak yatim. Beliau lahir ke dunia dalam keadaan yatim. Allah swt berfirman yang artinya:

"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). " 
[QS. Ad-Dhuha : 6-11].

Makna ayat tersebut secara harfiah adalah bahwa beliau dalam keadaan yatim lalu Allah swt melindunginya; beliau dalam keadaan tersesat lalu Allah memberinya petunjuk; beliau dalam keadaan fakir lalu Allah memampukannya. Allah melindunginya dengan mengasuhnya, membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah derajat keutamaan yang tidak pernah dicapai oleh seseorang pun di dunia. Allah swt mendidiknya saat kecil dan mengujinya dengan keyatiman saat beliau masih janin serta mengujinya dengan kelaparan sejak masih kecil, dan dewasa dengan kematian si ibu, saat beliau masih kecil dengan keterasingan di tengah-tengah keramaian, dan dengan terjaga di tengah-tengah tidur serta dengan penderitaan demi penderitaan. Allah swt telah menyiapkannya sejak usia dini untuk memikul beban risalah terakhir.

Meski dipelihara Allah, anak yatim tetap membutuhkan uluran tangan dari lingkungan sekitarnya. Terutama dari segi kasih sayang orang tua, yang tak mereka dapatkan dari orang tua kandungnya. Terlebih jika anak yatim tersebut masih ada hubungan darah dengan kita. Sedemikian pentingnya persoalan ini. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: 

“Demi yang mengutus aku dengan hak, Allah tidak akan menyiksa orang yang mengasihi dan menyayangi anak yatim, berbicara kepadanya dengan lembut dan mengasihi keyatiman serta kelemahannya dan tidak bersikap angkuh dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya terhadap tetangganya. Demi yang mengutus aku dengan hak, Allah tidak akan menerima sedekah seorang yang mempunyai kerabat keluarga yang membutuhkan santunannya sedang sedekah itu diberikan kepada orang lain. Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya, ketahuilah, Allah tidak akan memandangnya (memperhatikannya) kelak pada hari kiamat” [HR. Ath- Thabrani].

Begitu juga ketika ada peristiwa-peristiwa penting yang membuat si anak yatim teringat kepada mendiang orang tuanya, di hari raya misalnya. Rasulullah Saw bersabda yang artinya: 

”Siapa yang memakaikan seorang anak pakaian yang indah dan mendandaninya pada hari raya, maka Allah swt akan mendandani/menghiasinya pada hari Kiamat. Allah swt mencintai terutama setiap rumah, yang di dalamnya memelihara anak yatim dan banyak membagi-bagikan hadiah. Barangsiapa yang memelihara anak yatim dan melindunginya, maka ia akan bersamaku di surga.”

Dalam kesempatan lain, dari Ibnu Abbas Ra., Rasulullah bersabda yang artinya:

”Dan barangsiapa yang membelaikan tangannya pada kepala anak yatim di hari Asyura, maka Allah Ta’ala mengangkat derajat orang tersebut untuk untuk satu helai rambut satu derajat. Dan barangsiapa memberikan [makan dan minum] untuk berbuka bagi orang Mukmin pada malam Asyura, maka orang tersebut seperti memberikan makanan kepada seluruh umat Muhammad Saw dalam keadaan kenyang semuanya.”

Selain itu suatu ketika Saib bin Abdullah RA datang kepada Rosulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, maka  Rosulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadanya:

ياَ سَائِبُ انْظُرْ أَخْلاَقَكَ الَّتِيْ كُنْتَ تَصْنَعُهَا فِيْ الجْاَهِلِيَّةِ فَاجْعَلْهَا فِيْ اْلإِسْلاَمِ. أَقْرِ الضَّيْفَ و أَكْرِمِ الْيَتِيْمَ وَ أَحْسِنْ إِلَى جَارِكَ

“Wahai Saib, perhatikanlah akhlak yang biasa kamu lakukan ketika kamu masih dalam kejahiliyahan, laksanakan pula ia dalam masa keislaman. Jamulah tamu, muliakanlah anak yatim, dan berbuat baiklah kepada tetangga.” 
[HR. Ahmad dan Abu Dawud, Shohih Abu Dawud, Al-Albani : 4836]




MENYANTUNI ANAK YATIM DAPAT MELUNAKKAN HATI DAN MERUPAKAN SARANA TERPENUHINYA SETIAP KEBUTUHAN

 

Menyantuni anak yatim merupakan sarana yang bisa menjadikan hati lunak. Ia adalah obat yang diwasiatkan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam yang telah diutus dengan membawa petunjuk dengan kebenaran Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. Diriwayatkan oleh Abu Darda’ RA yang berkata:

“Ada seorang laki-laki yang datang kepada nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengeluhkan kekerasan hatinya. Nabipun bertanya : sukakah kamu, jika hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu terpenuhi ? Kasihilah anak yatim, usaplah mukanya, dan berilah makan dari makananmu, niscaya hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu akan terpenuhi.”
[HR Thobroni, Targhib, Al Albaniy : 254]

Sesungguhnya, mengasihi anak yatim merupakan sarana untuk melunakkan hati dan mengupayakan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan. Sebab, orang yang mengasihi anak yatim telah memposisikan diri seperti ayahnya. Seorang ayah, secara naluriyah memiliki karakter sayang dan mengasihi anak-anaknya. Adapun orang yang mengasihi anak yatim memiki satu sifat lain, yaitu mengasihi anak yang bukan anak kandungnya. Barang siapa keadaannya seperti itu maka dihatinya terhimpun sarana-sarana yang bisa melembutkan hatinya, sekalipun sebelumya merupakan hati yang keras. Tidak diragukan lagi ini merupakan obat yang mujarab. Anda tidak akan pernah mendapati orang yang menyantuni anak yatim, kecuali pasti memiliki hati yang pengasih. Kebalikan dari ini, anda tidak akan menjumpai seorangpun yang tidak mengasihi anak yatim, kecuali ia memiliki hati yang keras dan berakhlak buruk. Dalam sebuah atsar disebutkan riwayat dari Daud ‘alaihissalam, yang berkata :

“Bersikaplah kepada anak yatim, seperti seorang bapak yang penyayang.” 
[HR. Bukhori]

Manfaat lain dari tindakan mengasihi anak yatim yang telah dikabarkan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam kepada seorang yang bertanya kepada beliau bahwa meyantuni anak yatim merupakan sarana terpenuhimya kebutuhan dan terwujudnya apa yang dicari. Sesungguhnya, orang yang berbuat kebaikan kepada anak orang lain adalah orang yang telah memasukkan rasa gembira dihati mereka. Tidak diragukan lagi, Alloh pasti tidak akan menyia-nyiakannya, karena Allah Ta’ala Maha Pengasih dan Mencintai semua orang yang pengasih. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Orang-orang yang pengasih, akan dikasihi oleh Ar Rohman (Yang Maha Pengasih) Tabaaroka wa ta’ala. Kasihilah siapa yang ada dibumi niscaya engkau dikasihi oleh yang di langit.”
[HR. Abu dawud, Tirmidzi dan lain-lain. As silsilatu shohihah : 925].


METODE DAN SARANA TARBIYYAH BAGI ANAK YATIM 


Anak-anak yatim memerlukan  tarbiyyah yang lebih spesifik dibanding anak-anak lainnya. Hal ini mengingat kondisi mereka yang kehilangan unsur-unsur esensial yang mereka butuhkan dalam hidup. Diantaranya ialah kasih sayang orang tua. Oleh karena itu, hal pertama yang mereka butuhkan ialah kepuasan terhadap rasa kasih sayang, terpenuhinya perasaan aman, serta kehadiran sosok pengasuh pengganti orang tuanya yang mampu memberikan pengarahan dan bimbingan untuknya, memenuhi segala kebutuhan jasmani dan rohaninya. Mereka juga membutuhkan dorongan motivasi untuk ikut berkembang dalam lingkungan masyarakat sebagaimana umumnya anak-anak yang lain. Para yatim adalah anak-anak yang kehilangan unsur- unsur kekuatan hidup mereka. Mereka kehilangan muara kasih sayang hakiki dengan meninggalnya orang tua. Untuk itu, Islam mendorong setiap muslim untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yatim dan menjanjikan pahala yang agung bagi siapa saja yang berbuat baik kepada mereka.

Kondisi anak-anak yatim pun berbeda antara satu dengan lainnya. Di antara mereka ada yang kehilangan salah satu saja dari orang tuanya, yakni ibu atau bapaknya. Dalam kondisi semacam ini, biasanya mereka lebih mudah diarahkan dalam lingkungan yang baru, yaitu ketika orang tuanya (ibu atau bapaknya) yang masih hidup telah menikah lagi, kemudian ia memiliki saudara-saudara baru yang nantinya akan ikut berkembang bersama dengannya, dengan syarat orang tuanya tersebut menikah dengan duda atau janda yang telah memiliki anak-anak juga. Dengan mencurahkan segenap kesungguhan untuk memelihara mereka, insya Allah anak-anak yatim tersebut akan tumbuh dan berkembang tanpa adanya permasalahan psikis yang cukup serius. Tentunya, hal ini terkait juga dengan din kedua orang tuanya. Artinya selama kedua orang tuanya itu konsisten dengan ajaran-ajaran Islam, dan mereka meluruskan niat dalam mengasuh anak-anak mereka, niscaya anak-anak mereka akan tumbuh normal sebagaimana layaknya anak-anak yang lain, dengan taufik dari Allah. Jika tidak, tentunya usaha untuk mengarahkan anak yatim tersebut menjadi anak yang baik akan menemui banyak kendala, karena din adalah muara kebaikan bagi segala urusan hidup manusia.

Di antara mereka juga ada yang kehilangan ayahnya, sedangkan mereka memiliki kakak laki-laki yang mampu mengasuh dan mendidik mereka. Dalam keadaan seperti ini, sang kakak menggantikan posisi ayahnya, dengan syarat ia memiliki kepribadian kuat serta teguh pendirian; karena mengasuh anak-anak yatim bukanlah suatu pekerjaan ringan, dan tanggung jawabnya teramat besar. Bagi ibu dari anak-anak yatim tersebut, semestinya memberikan penghormatan kepada sang kakak, bahu-membahu bersamanya dalam mendidik anak-anaknya, serta mempercayakan kepemimpinan keluarga kepada sang kakak secara kongkrit. Hal yang demikian ini, memberikan efek kepada adik-adiknya yang yatim untuk tunduk terhadap perintah sang kakak, dan secara bersamaan juga kepekaan dan tanggung jawab sang kakak sebagai pengganti ayah akan tebentuk, sehingga ia terbiasa dan lebih memiliki kepercayaan diri untuk mengasuh dan mendidik adik-adiknya. Seorang ibu, meskipun ia memiliki kekuasaan untuk memerintah anak-anaknya, namun jika anak-anaknya itu telah menginjak masa dewasa, mereka tetap membutuhkan sosok pembimbing lain selain ibu, yakni sosok pemimpin laki-laki yang mampu mengarahkan mereka yang tidak lain adalah kakaknya tadi.

Diantara mereka ada pula yatim yang kehilangan salah satu dari orang tuanya karena perceraian, atau pun kepergian orang tua yang sangat lama, atau karena orang tuanya sakit, kemudian sang ibu tidak menikah lagi dan memilih tinggal bersama keluarganya sedangkan ia memiliki beberapa anak. Dalam kondisi seperti ini, sang yatim membutuhkan sosok pendidik lain, yaitu semisal kakek atau pamannya. Dan selayaknya, bagi ibu untuk memberikan kepercayaan kepada kakek atau paman dalam perkara-perkara penting, jika anak-anaknya telah tumbuh besar dan mereka tidak sepenuhnya lagi berada dalam kekuasaan sang ibu. Pengarahan kakek atau paman sangat berpengaruh bagi mereka, karena laki-laki pada umumnya lebih tegas dan berakal panjang dibandingkan wanita.

Berikut ini beberapa point yang memuat metode tarbiyyah bagi anak yatim. Di antaranya ialah sebagai berikut:

1. Hendaknya sosok pendidik pengganti orang tua yang meninggal itu memiliki kemampuan untuk mengarahkan anak yatim, mampu mengemban tanggung jawab pendidikan mereka dan memahami dengan baik dan sempurna tentang problematika anak yatim serta hukum-hukumnya. Juga mampu memenuhi kebutuhan mereka akan kasih sayang dan cinta kasih, dan tidak membedakan anak-anak yatim itu antara yang satu dengan lainnya.

2. Adanya tekad yang kuat dan niat yang lurus dari pemelihara yatim tersebut untuk mendidik mereka, karena banyak pemelihara yatim yang meremehkan masalah ini serta menzhalimi hak mereka. Sewajibnya bagi pemelihara anak yatim untuk memperlakukan mereka sebagaimana layaknya mereka memperlakukan anak-anak mereka sendiri.

3. Memberikan waktu luang dan kesempatan yang cukup bagi sang yatim untuk bergaul dengan anak-anak lainnya. Sebisa mungkin dihindari hal-hal yang bisa menimbulkan kegoncangan jiwa bagi mereka, serta menjauhi sikap memata-matai mereka dalam setiap urusan, agar mereka merasa diberi kepercayaan untuk mengurusi urusannya sendiri. Dengan demikian, akal dan dan fungsi sosialnya akan berkembang. Sedangkan kewajiban ibu adalah memberikan pemahaman tentang tanggung jawab hidup kepada anak ketika mereka menginjak usia dewasa, fahamkan bahwa mereka adalah generasi harapan ibunya. Dengan cara ini, ibu turut membantu anak untuk mencapai kematangan dan kedewasaan dalam bertindak, serta kemapanan dalam berpikir untuk menghadapi hidup.

4. Dalam kondisi perceraian, hendaklah kedua orang tua bertindak dengan penuh bijaksana dan sarat dengan kematangan jiwa, hingga anak dapat tumbuh lurus tanpa adanya tekanan ataupun gangguan psikhis lainnya. Selayaknya mereka saling memberikan dan menunjukkan pengormatan kepada mantan pasangan, menghindari sejauh-jauhnya saling cela dan tuduh satu dengan lainnya serta tidak membeberkan seluruh konflik yang terjadi di antara mereka berdua kepada sang anak. Dengan cara seperti ini, kebutuhan anak akan kebahagiaan yang berhak ia dapatkan dari kedua orang tuanya akan senantiasa tercukupi, serta hak kedua orang tua untuk mengasuh dan mendidik anak mereka tetap terjaga, karena sikap mulia dan perwira dari kedua orang tuanya yang saling menghormati satu dengan lainnya meski dalam kondisi perceraian, akan terekam kuat dalam memori sang anak. Sang anak akan tetap menghormati kedua orang tuanya, karena hal itu ia lihat dari sikap kedua orang tuanya dalam wujud nyata. Dan sebaliknya, jika kedua orang tua saling cela dan menyalahkan satu sama lainya, saling membeberkan kejelekan pasangannya di hadapan sang anak, hal ini akan merusak kepercayaan dan penghormatan sang anak kepada kedua orang tuanya sekaligus, sehingga ia tidak lagi mau menghormati kedua orang tuanya serta sulit untuk menerima arahan dan bimbingan dari keduanya.



ANCAMAN BAGI PEMAKAN HARTA ANAK YATIM DENGAN ZHALIM


Para yatim adalah golongan dhu’afa (kaum lemah) yang sangat membutuhkan tangan-tangan penuh kasih, yang mau mengayomi mereka, membimbing dan menjaga mereka dari ketergelinciran yang akan mencelakakan hidup mereka. Maka selayaknya bagi setiap wali dan pihak-pihak yang diberi amanah mengurusi mereka untuk selalu mengontrol hati mereka, senantiasa meluruskan niat demi meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, serta menjauhi sikap mengkhianati amanah, berbuat zhalim dan semena-mena terhadap anak yatim.

Berbuat zhalim kepada mereka merupakan dosa besar yang diancam dengan siksa neraka. Adzab memakan harta anak yatim secara zhalim terkadang langsung Allah berikan di dunia. Mungkin para yatim yang lemah itu, tidak bisa membalas kezhaliman yang mereka terima, tidak bisa menuntut haknya yang dirampas secara semena-mena. Namun janganlah kita lupa, Allah-lah yang menjadi penolong mereka. Hendaklah kita takut terhadap adzab Allah yang mungkin datang secara tiba-tiba dan kita ditimpa su’ul khatimah disebabkan kezhaliman kita, na'udzubillah. 

Telah banyak nash-nash syar’i yang menjelaskan keharaman memakan harta anak yatim secara zhalim. Seluruh nash-nash tersebut datang dengan shighat tahrim (konteks pengharaman atau larangan) yang sangat tegas. Di antara nash-nash tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat An Nisa’ di atas:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً 

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala". 
[an Nisa’: 10]

Tentang tafsir ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata, ”Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا

"Yaitu mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar. Batasan ini, (yaitu secara zhalim) mengeluarkan masalah sebelumnya, yaitu bolehnya memakan harta anak yatim bagi (pemelihara mereka) yang faqir dengan cara yang ma’ruf, serta bolehnya mencampurkan makanan mereka dengan makanan para yatim". 

Barangsiapa yang memakannya secara zhalim, maka (sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya), yaitu sesungguhnya yang mereka makan hakikatnya adalah api neraka yang menyala-nyala di dalam perut mereka, dan mereka sendiri yang memasukkan api tersebut ke dalam perutnya.

 وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً (dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala), yaitu api yang membakar dan menyala-nyala. Ini merupakan ancaman yang sangat berat bagi dosa-dosa, yang menunjukkan keburukan memakan harta anak yatim, dan ia menjadi penyebab masuk neraka. Hal itu menunjukkan jika perbuatan itu termasuk salah satu dari dosa-dosa besar. Kita memohon keselamatan kepada Allah.” [Taisir Karimir Rahman (I/384-385)]

Kemudian firman_Nya dalam surat Al Ma’un:

أَرَءَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ

"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim". 
[al Ma'un : 1-2]

Imam Al Mufassir Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, "Allah Ta’ala berfirman: Apakah engkau tahu wahai Muhammad, (siapakah) yang mendustakan din? (Din) adalah (hari) kembalinya manusia, balasan serta pahala, فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (yaitu orang-orang yang menguasai anak yatim), menzhalimi haknya, tidak memberinya makan dan tidak berbuat baik kepadanya" [Tafsir Al Qur’an Al Azhim (8/493)]

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan kepada kaum mu’minin, berbuat zhalim kepada anak yatim merupakan sifat orang-orang yang mendustakan agama. Mereka akan dibalas atas kezhaliman tersebut dengan siksa yang amat keras. Wal’iyadzu billah.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda yang artinya:

"Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan.” Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah! Apakah perkara-perkara itu?” Beliau menjawab,”Berbuat syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, serta menuduh wanita merdeka yang menjaga diri lagi beriman dan tidak berbuat kekejian". 
[HR Bukhari (5/393-Al Fath) dan Muslim (89)]

Dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, dengan jelas tersurat bahwa memakan harta anak yatim termasuk dari tujuh perkara yang membinasakan. Konteks larangan tersebut datang dengan lafazh اجْتَنِبُوا. Hal ini menunjukkan keharaman yang lebih tegas daripada sekedar lafazh nahyi (larangan). Wallahu a’lam.