Senin, 19 Desember 2011

Badak jawa




A.  Badak Jawa
Rhinoceros berasal dari bahasa Yunani yaitu “rhino” yang berarti “hidung” dan “ceros” yang berarti “cula”. Sondaicus merujuk pada kepulauan Sunda di Indonesia. “Sunda” berarti “Jawa” sedangka “icus” dalam bahasa latin mengindikasikan lokasi
Badak jawa atau Badak bercula-satu kecil (Rhinoceros sondaicus) adalah anggota famili Rhinocerotidae dan satu dari lima badak yang masih ada. Badak ini masuk ke genus yang sama dengan badak india dan memiliki kulit bermosaik yang menyerupai baju baja. Badak ini memiliki panjang 3,1–3,2 m dan tinggi 1,4–1,7 m. Badak ini lebih kecil daripada badak india dan lebih dekat dalam besar tubuh dengan badak hitam. Ukuran culanya biasanya lebih sedikit daripada 20 cm, lebih kecil daripada cula spesies badak lainnya.
Badak ini pernah menjadi salah satu badak di Asia yang paling banyak menyebar. Meski disebut "badak jawa", binatang ini tidak terbatas hidup di Pulau Jawa saja, tapi di seluruh Nusantara, sepanjang Asia Tenggara dan di India serta Tiongkok. Spesies ini kini statusnya sangat kritis, dengan hanya sedikit populasi yang ditemukan di alam bebas, dan tidak ada di kebun binatang. Badak ini kemungkinan adalah mamalia terlangka di bumi.
Populasi 40-50 badak hidup di Taman Nasional Ujung Kulon di pulau Jawa, Indonesia. Populasi badak Jawa di alam bebas lainnya berada di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam dengan perkiraan populasi tidak lebih dari delapan pada tahun 2007. Berkurangnya populasi badak jawa diakibatkan oleh perburuan untuk diambil culanya, yang sangat berharga pada pengobatan tradisional Tiongkok, dengan harga sebesar $30.000 per kilogram di pasar gelap.
Berkurangnya populasi badak ini juga disebabkan oleh kehilangan habitat, yang terutama diakibatkan oleh perang, seperti perang Vietnam di Asia Tenggara juga menyebabkan berkurangnya populasi badak Jawa dan menghalangi pemulihan. Tempat yang tersisa hanya berada di dua daerah yang dilindungi, tetapi badak jawa masih berada pada risiko diburu, peka terhadap penyakit dan menciutnya keragaman genetik menyebabkannya terganggu dalam berkembangbiak.
WWF Indonesia mengusahakan untuk mengembangkan kedua bagi badak jawa karena jika terjadi serangan penyakit atau bencana alam seperti tsunami, letusan gunung berapi Krakatau dan gempa bumi, populasi badak jawa akan langsung punah. Selain itu, karena invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng untuk ruang dan sumber, maka populasinya semakin terdesak. Kawasan yang diidentifikasikan aman dan relatif dekat adalah Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat yang pernah menjadi habitat badak Jawa.

Badak jawa dapat hidup selama 30-45 tahun di alam bebas. Badak ini hidup di hutan hujan dataran rendah, padang rumput basah dan daerah daratan banjir besar. Badak jawa kebanyakan bersifat tenang, kecuali untuk masa kenal-mengenal dan membesarkan anak, walaupun suatu kelompok kadang-kadang dapat berkumpul di dekat kubangan dan tempat mendapatkan mineral. Badak dewasa tidak memiliki hewan pemangsa sebagai musuh.
Badak jawa biasanya menghindari manusia, tetapi akan menyerang manusia jika merasa diganggu. Peneliti dan pelindung alam jarang meneliti binatang itu secara langsung karena kelangkaan mereka dan adanya bahaya mengganggu sebuah spesies terancam. Peneliti menggunakan kamera dan sampel kotoran untuk mengukur kesehatan dan tingkah laku mereka. Badak Jawa lebih sedikit dipelajari daripada spesies badak lainnya.

B.  Taksonomi Dan Penamaan
Penelitian pertama badak jawa dilakukan oleh penyelidik alam dari luar daerah tersebut pada tahun 1787, ketika dua binatang ditembak di Jawa. Tulang badak Jawa dikirim pada penyelidik alam Belanda Petrus Camper, yang meninggal tahun 1789 sebelum sempat menerbitkan penemuannya bahwa badak Jawa adalah spesies istimewa.
Badak Jawa lainnya ditembak di Pulau Sumatra oleh Alfred Duvaucel yang mengirim spesimennya ke ayah tirinya, Georges Cuvier, ilmuwan Perancis yang terkenal. Cuvier menyadari binatang ini sebagai spesies istimewa tahun 1822, dan pada tahun yang sama diidentifikasi oleh Anselme Gaetan Desmarest sebagai Rhinoceros sondaicus. Spesies ini adalah spesies badak terakhir yang diidentifikasi. Desmarest pada awalnya mengidentifikasi badak ini berasal dari Jawa, tetapi nantinya mengubahnya dan mengatakan spesimennya berasal dari pulau Jawa.
Nama genusnya Rhinoceros, yang didalamnya juga terdapat badak India, berasal dari bahasa Yunani: rhino berarti hidung, dan ceros berarti tanduk; sondaicus berasal dari kata Sunda, daerah yang meliputi pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan kepulauan kecil disekitarnya. Badak Jawa juga disebut badak bercula-satu kecil (sebagai perbedaan dengan badak bercula-satu besar, nama lain badak India). 

Terdapat tiga subspesies, yang hanya dua subspesies yang masih ada, sementara satu subspesies telah punah:
1.    Rhinoceros sondaicus sondaicus, tipe subspesies yang diketahui sebagai badak Jawa Indonesia' yang pernah hidup di Pulau Jawa dan Sumatra. Kini populasinya hanya sekitar 40-50 di Taman Nasional Ujung Kulon yang terletak di ujung barat Pulau Jawa. Satu peneliti mengusulkan bahwa badak jawa di Sumatra masuk ke dalam subspesies yang berbeda, R.s. floweri, tetapi hal ini tidak diterima secara luas.

2.     Rhinoceros sondaicus annamiticus, diketahui sebagai Badak Jawa Vietnam atau Badak vietnam, yang pernah hidup di sepanjang Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand dan Malaysia. Annamiticus berasal dari deretan pegunungan Annam di Asia Tenggara, bagian dari tempat hidup spesies ini. Kini populasinya diperkirakan lebih sedikit dari 12, hidup di hutan daratan rendah di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Analisa genetika memberi kesan bahwa dua subspesies yang masih ada memiliki leluhur yang sama antara 300.000 dan 2 juta tahun yang lalu.

3.    Rhinoceros sondaicus inermis, diketahui sebagai Badak jawa india, pernah hidup di Benggala sampai Burma (Myanmar), tetapi dianggap punah pada dasawarsa awal tahun 1900-an. Inermis berarti tanpa cula, karena karakteristik badak ini adalah cula kecil pada badak jantan, dan tak ada cula pada betina. Spesimen spesies ini adalah betina yang tidak memiliki cula. Situasi politik di Burma mencegah taksiran spesies ini di negara itu, tetapi keselamatannya dianggap tak dapat dipercaya.

C.  Evolusi
Badak India berhubungan dekat dengan badak Jawa, mereka adalah dua anggota tipe genus badak. Leluhur badak pertama kali terbagi dari Perissodactyl lainnya pada masa Eosen awal. Perbandingan DNA mitokondria memberikan kesan bahwa leluhur badak modern terbagi dari leluhur Equidae sekitar 50 juta tahun yang lalu.

Famili yang masih ada, Rhinocerotidae, pertama kali muncul pada Eosen akhir di Eurasia, dan leluhur spesies badak modern terbagi dari Asia pada awal Miosen. Badak jawa dan badak india adalah satu-satunya anggota genus Rhinoceros yang pertama kali muncul pada rekaman fosil di Asia sekitar 1,6 juta-3,3 juta tahun yang lalu. Perkiraan molekul memberikan kesan bahwa spesies telah terbagi lebih awal, sekitar 11,7 juta tahun yang lalu. Walaupun masuk ke dalam tipe genus, badak Jawa dan India dipercaya tidak berhubungan dekat dengan spesies badak lainnya.
Penelitian berbeda telah mengeluarkan hipotesis bahwa mereka mungkin berhubungan dekat dengan Gaindetherium atau Punjabitherium yang telah punah. Analisis klad Rhinocerotidae meletakkan Rhinoceros dan Punjabitherium yang telah punah pada klad dengan Dicerorhinus, badak Sumatra. Penelitian lain mengusulkan bahwa badak Sumatra lebih berhubungan dekat dengan dua spesies badak di Afrika. Badak Sumatra dapat terbagi dari badak Asia lainnya 15 juta tahun yang lalu.



D.  Deskripsi
Badak jawa lebih kecil daripada sepupunya, badak india, dan memiliki besar tubuh yang dekat dengan badak hitam. Panjang tubuh badak Jawa (termasuk kepalanya) dapat lebih dari 3,1–3,2 m dan mencapai tinggi 1,4–1,7 m. Badak dewasa dilaporkan memiliki berat antara 900 dan 2.300 kilogram. Penelitian untuk mengumpulkan pengukuran akurat badak Jawa tidak pernah dilakukan dan bukan prioritas. Tidak terdapat perbedaan besar antara jenis kelamin, tetapi badak Jawa betina ukuran tubuhnya dapat lebih besar. Badak di Vietnam lebih kecil daripada di Jawa berdasarkan penelitian bukti melalui foto dan pengukuran jejak kaki mereka.
Seperti sepupunya di India, badak jawa memiliki satu cula (spesies lain memiliki dua cula). Culanya adalah cula terkecil dari semua badak, biasanya lebih sedikit dari 20 cm dengan yang terpanjang sepanjang 27 cm. Badak jawa jarang menggunakan culanya untuk bertarung, tetapi menggunakannya untuk memindahkan lumpur di kubangan, untuk menarik tanaman agar dapat dimakan, dan membuka jalan melalui vegetasi tebal.
Badak Jawa memiliki bibir panjang, atas dan tinggi yang membantunya mengambil makanan. Gigi serinya panjang dan tajam, ketika badak jawa bertempur, mereka menggunakan gigi ini. Di belakang gigi seri, enam gigi geraham panjang digunakan untuk mengunyah tanaman kasar. Seperti semua badak, badak jawa memiliki penciuman dan pendengaran yang baik tetapi memiliki pandangan mata yang buruk. Mereka diperkirakan hidup selama 30 sampai 45 tahun.
Kulitnya yang sedikit berbulu, berwarna abu-abu atau abu-abu coklat membungkus pundak, punggung dan pantat. Kulitnya memiliki pola mosaik alami yang menyebabkan badak memiliki perisai. Pembungkus leher badak Jawa lebih kecil daripada badak india, tetapi tetap membentuk bentuk pelana pada pundak. Karena risiko mengganggu spesies terancam, badak jawa dipelajari melalui sampel kotoran dan kamera. Mereka jarang ditemui, diamati atau diukur secara langsung

E.  Penyebaran dan habitat
Taman Nasional Ujung Kulon di Jawa adalah habitat bagi sisa badak Jawa yang masih hidup. Diperkirakan bahwa lebih sedikit dari 100 badak Jawa masih ada di alam bebas. Mereka dianggap sebagai mamalia yang paling terancam walaupun masih terdapat badak Sumatra yang tempat hidupnya tidak dilindungi seperti badak Jawa, dan beberapa pelindung alam menganggap mereka memiliki risiko yang lebih besar. Badak Jawa diketahui masih hidup di dua tempat, Taman Nasional Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa dan Taman Nasional Cat Tien yang terletak sekitar 150 km sebelah utara Kota Ho Chi Minh.
Binatang ini pernah menyebar dari Assam dan Benggala (tempat tinggal mereka akan saling melengkapi antara badak Sumatra dan India di tempat tersebut) ke arah timur sampai Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, dan ke arah selatan di semenanjung Malaya, serta pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Badak Jawa hidup di hutan hujan dataran rendah, rumput tinggi dan tempat tidur alang-alang yang banyak dengan sungai, dataran banjir besar atau daerah basah dengan banyak kubangan lumpur. Walaupun dalam sejarah badak jawa menyukai daerah rendah, subspesies di Vietnam terdorong menuju tanah yang lebih tinggi (diatas 2.000 m), yang disebabkan oleh gangguan dan perburuan oleh manusia.
Tempat hidup badak jawa telah menyusut selama 3.000 tahun terakhir, dimulai sekitar tahun 1000 SM, tempat hidup di utara badak ini meluas ke Tongkok, tetapi mulai bergerak ke selatan secara kasar pada 0.5 km per tahun karena penetap manusia meningkat di daerah itu. Badak ini mulai punah di India pada dekade awal abad ke-20. Badak Jawa diburu sampai kepunahan di semenanjung Malaysia tahun 1932.
Pada akhir perang Vietnam, badak Vietnam dipercaya punah sepanjang tanah utama Asia. Pemburu lokal dan penebang hutan di Kamboja mengklaim melihat badak jawa di Pegunungan Cardamom, tetapi survey pada daerah tersebut gagal menemukan bukti. Populasi badak Jawa juga mungkin ada di pulau Kalimantan, walaupun spesimen tersebut mungkin merupakan badak Sumatra, populasi kecil yang masih hidup disana.

F.   Sifat
Badak jawa adalah binatang tenang dengan pengecualian ketika mereka berkembang biak dan apabila seekor inang mengasuh anaknya. Kadang-kadang mereka akan berkerumun dalam kelompok kecil di tempat mencari mineral dan kubangan lumpur. Berkubang di lumpur adalah sifat umum semua badak untuk menjaga suhu tubuh dan membantu mencegah penyakit dan parasit.
Badak jawa tidak menggali kubangan lumpurnya sendiri dan lebih suka menggunakan kubangan binatang lainnya atau lubang yang muncul secara alami, yang akan menggunakan culanya untuk memperbesar. Tempat mencari mineral juga sangat penting karena nutrisi untuk badak diterima dari garam. Wilayahi jantan lebih besar dibandingkan betina dengan besar wilayah jantan 12–20 km² dan wilayah betina yang diperkirakan 3–14 km². Wilayah jantan lebih besar daripada wilayah betina.

Jantan menandai wilayah mereka dengan tumpukan kotoran dan percikan urin. Goresan yang dibuat oleh kaki di tanah dan gulungan pohon muda juga digunakan untuk komunikasi. Anggota spesies badak lainnya memiliki kebiasaan khas membuang air besar pada tumpukan kotoran badak besar dan lalu menggoreskan kaki belakangnya pada kotoran. Badak Sumatra dan Jawa ketika buang air besar di tumpukan, tidak melakukan goresan. Adaptasi sifat ini diketahui secara ekologi; di hutan hujan Jawa dan Sumatera, metode ini mungkin tidak berguna untuk menyebar bau.
Badak jawa memiliki lebih sedikit suara daripada badak sumatra, sangat sedikit suara badak jawa yang diketahui. Badak Jawa dewasa tidak memiliki musuh alami selain manusia. Spesies ini, terutama sekali di Vietnam, adalah spesies yang melarikan diri ke hutan ketika manusia mendekat sehingga sulit untuk meneliti badak. Ketika manusia terlalu dekat dengan badak jawa, badak itu akan menjadi agresif dan akan menyerang, menikam dengan gigi serinya di rahang bawah sementara menikam keatas dengan kepalanya. Sifat anti-sosialnya mungkin merupakan adaptasi tekanan populasi, bukti sejarah mengusulkan bahwa spesies ini pernah lebih berkelompok.

G. Makanan
Badak jawa adalah hewan herbivora dan makan bermacam-macam spesies tanaman, terutama tunas, ranting, daun-daunan muda dan buah yang jatuh. Kebanyakan tumbuhan disukai oleh spesies ini tumbuh di daerah yang terkena sinar matahari: pada pembukaan hutan, semak-semak dan tipe vegetasi lainnya tanpa pohon besar. Badak menjatuhkan pohon muda untuk mencapai makanannya dan mengambilnya dengan bibir atasnya yang dapat memegang.
Badak Jawa adalah pemakan yang paling dapat beradaptasi dari semua spesies badak. Badak diperkirakan makan 50 kg makanan per hari. Seperti badak Sumatra, spesies badak ini memerlukan garam untuk makanannya. Tempat mencari mineral umum tidak ada di Ujung Kulon, tetapi badak Jawa terlihat minum air laut untuk nutrisi sama yang dibutuhkan.

H.  Reproduksi
Sifat seksual badak Jawa sulit dipelajari karena spesies ini jarang diamati secara langsung dan tidak ada kebun binatang yang memiliki spesimennya. Betina mencapai kematangan seksual pada usia 3-4 tahun sementara kematangan seksual jantan pada umur 6. Kemungkinan untuk hamil diperkirakan muncul pada periode 16-19 bulan. Interval kelahiran spesies ini 4–5 tahun dan anaknya membuat berhenti pada waktu sekitar 2 tahun.


I.     Konservasi
Badak Jawa adalah spesies badak yang paling langka diantara lima spesies badak yang ada di dunia dan masuk dalam Daftar Merah badan konservasi dunia IUCN, yaitu dalam kategori sangat terancam atau critically endangered.
Badak diyakini telah ada sejak jaman tertier (65 juta tahun yang lalu). Seperti halnya Dinosaurus yang telah punah, Badak pada 60 juta tahun yang lalu memiliki 30 jenis banyak mengalami kepunahan. Saat ini hanya tersisa 5 spesies Badak, 2 spesies diantaranya terdapat di Indonesia.

Macam spesies Badak yang masih bertahan hidup yaitu:
1.    Badak Sumatera (Sumatran rhino) bercula dua atau Dicerorhinus sumatrensis. Terdapat di Pulau Sumatera (Indonesia) dan Kalimantan (Indonesia dan Malaysia).
2.    Badak Jawa (Javan rhino) bercula satu atau Rhinocerus sondaicus. Terdapat di Pulau Jawa (Indonesia) dan Vietnam
3.    Badak India (Indian rhino) bercula satu atau Rhinocerus unicornis. Tedapat di India dan Nepal.
4.    Badak Hitam Afrika bercula cula (Black Rhino) atau Diceros bicormis. Terdapat di Kenya, Tanzania, Kamerun, Afrika Selatan, Namibia dan Zimbabwe.
5.    Badak Putih Afrika bercula dua (White Rhino) atau Cerathoterium simum. Terdapat di Kongo.

Faktor utama berkurangnya populasi badak Jawa adalah perburuan untuk culanya, masalah yang juga menyerang semua spesies badak. Cula badak menjadi komoditas perdagangan di Tiongkok selama 2.000 tahun yang digunakan sebagai obat untuk pengobatan tradisional Tiongkok. Secara historis kulitnya digunakan untuk membuat baju baja tentara Tiongkok dan suku lokal di Vietnam percaya bahwa kulitnya dapat digunakan sebagai penangkal racun untuk bisa ular. Karena tempat hidup badak mencakupi banyak daerah kemiskinan, sulit untuk penduduk tidak membunuh binatang ini yang dapat dijual dengan harga tinggi.
Ketika Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora pertama kali diberlakukan tahun 1975, badak Jawa dimasukan kedalam perlindungan Appendix 1: semua perdagangan internasional produk badak Jawa dianggap ilegal. Survey pasar gelap cula badak telah menentukan bahwa badak Asia memiliki harga sebesar $30.000 per kilogram, tiga kali harga cula badak Afrika.
Hilangnya habitat akibat pertanian juga menyebabkan berkurangnya populasi badak Jawa, walaupun hal ini bukan lagi faktor signifikan karena badak hanya hidup di dua taman nasional yang dilindungi. Memburuknya habitat telah menghalangi pemulihan populasi badak yang merupakan korban perburuan untuk cula. Bahkan dengan semua usaha konservasi, prospek keselamatan badak Jawa suram. Karena populasi mereka tertutup di dua tempat kecil, mereka sangat rentan penyakit dan masalah perkembangbiakan. Ahli genetika konservasi memperkirakan bahwa populasi 100 badak perlu perlindungan pembagian genetika spesies.

J.    Taman Nasional Ujung Kulon
Semenanjung Ujung Kulon dihancurkan oleh letusan gunung Krakatau tahun 1883. Badak Jawa mengkolonisasi kembali semenanjung itu setelah letusan, tetapi manusia tidak pernah kembali pada jumlah yang besar, sehingga membuat sebuah tempat berlindung. Pada tahun 1931, karena badak Jawa berada di tepi kepunahan di Sumatra, pemerintah Hindia-Belanda menyatakan bahwa badak merupakan spesies yang dilindungi, dan masih tetap dilindungi sampai sekarang.
Rhinoceros Sondaicus (bukan Rhinocerus Javaicus) yang secara harfiah berarti Badak Sunda yang bercula satu dan satu-satunya di dunia yang berada di Ujung Kulon ramai dibicarakan. Banyak pihak menentang keras atas wacana yang dikemukakan pihak World Wide Foundation (WWF) tentang rencana untuk membuat 2nd population/habitat atau habitat kedua di luar Banten. Reaksi ini tentu dapat dimaklumi, mengingat Badak Ujung Kulon selama ini sudah menjadi icon (ciri khas) masyarakat Banten, terlebih lagi bagi masyarakat Kabupaten Pandeglang.
Sebagaimana diakui pihak Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) - akurasinya belum bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, populasi salah satu jenis hewan langka di dunia itu kini jumlahnya hanya sekitar 64 ekor. Mengingat pihak BTNUK belum memiliki teknologi yang canggih, maka metode yang dipakai untuk mengetahui populasinya dilakukan dengan menghitung jejak langkah kaki berdasarkan ukurannya serta kotorannya saja.
Hal ini memicu banyak pertanyaan publik ; memangnya badak itu masih ada? Jangan-jangan kita hanya meributkan sesuatu yang tidak jelas? Demikian kira-kira diantara pernyataan yang muncul, sebagaimana juga muncul dari ketua Indonesian Tourism Club dalam seminar masa depan pariwisata Banten yang diselenggarakan Litbang Radar Banten (29/8). Disini pihak terkait memang perlu menjelaskan kepada publik secara resmi. Namun untuk megurangi rasa penasaran melalui pertanyaan publik di atas, penulis nyatakan bahwa badak Ujung Kulon masih ada. Salah satu bukti bahwa badak itu masih ada, pada pertengahan Juni yang lalu petugas WWF sempat merekam seekor badak yang sedang berendam di salah satu bibir pantai Ujung Kulon.
Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang terkategorikan sebagai salah satu world heritage site/situs peninggalan dunia, disebut-sebut sebagai kawasan yang kini terancam, khususnya ancaman kepunahan badak yang dalam tradisi lisan Baduy disebut Si Putri itu. WWF menyebutkan beberapa ancaman dimaksud, diantaranya:
1.    Bencana alam gempa tektonik yang berpusat di sekitar pulau Panaitan yang memungkinkan melahirkan tsunami serta ancaman letusan anak gunung Krakatau
2.    Banyaknya tanaman langkap (sejenis palem) yang mengakibatkan berkurangnya rumput pakan badak
3.    Keberadaan banteng yang sudah over population dan menguasai pakan badak; keempat, perubahan iklim, dimana pemanasan global saat ini sudah mencapai 0,8 dari 2o yang menjadi batas toleransi, termasuk perubahan vegetasi.

Di Indonesia, badak Sunda dahulu diperkirakan tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Di Sumatera saat itu badak Sunda tersebar di Aceh sampai Lampung. Di Pulau Jawa, pernah tersebar luas di seluruh Jawa, dan kini hanya terdapat di Ujung Kulon, Banten. Pada tahun 1833 masih ditemukan di Wonosobo, 1834 di Nusakambangan, 1866 di Telaga Warna, 1867 di Gunung Slamet, 1870 di Tangkuban Perahu, 1880 di sekitar Gunung Gede Pangrango, 1881 di Gunung Papandayan, 1897 di Gunung Ceremai dan pada tahun 1912 masih dijumpai di sekitar daerah Karawang. Frank pada tahun 1934 telah menembak seekor badak Sunda jantan dari Karangnunggal di Tasikmalaya, sekarang specimennya disimpan di Museum Zoologi Bogor. Menurut catatan merupakan individu terakhir yang dijumpai di luar daerah Ujung Kulon.
Pada tahun 1910 badak Sunda sebagai binatang liar secara resmi telah dilindungi Undang-Undang oleh Pemerintah Hindia Belanda, sehingga pada tahun 1921 berdasarkan rekomendasi dari The Netherlands Indies Society for Protection of Nature, Ujung Kulon oleh pemerintah dinyatakan sebagai Cagar Alam. Keadaan ini masih berlangsung terus sampai status Ujung Kulon diubah menjadi Suaka Margasatwa di bawah pengelolaan Jawatan Kehutanan dan Taman Nasional pada tahun 1982.

Di Ujung Kulon populasi badak pada tahun 1937 ditaksir ada 25 ekor (10 jantan dan 15 betina), dan pada tahun 1955 ada sekitar 30-35 ekor. Pada tahun 1967 di Ujung Kulon pertama kalinya diadakan sensus badak Sunda yang menyebutkan populasinya ada 21-28 ekor. Turun naiknya populasi badak selain adanya kelahiran anak, juga dipengaruhi oleh adanya perburuan. Setelah pengawasan yang ketat terhadap tempat hidup badak, populasi badak Sunda terus meningkat hingga kira-kira 45 ekor pada tahun 1975. Menurut hasil sensus sampai tahun 1989 diperkirakan tinggal 52-62 ekor. Sensus pada Nopember 1999 yang dilaksanakan oleh TNUK dan WWF diperkirakan 47 - 53 ekor.
Badak Sunda mungkin merupakan mamalia besar paling langka di dunia dimana hanya 50 - 60 yang bertahan hidup di seluruh dunia. Terlepas dari segelintir individu di Taman Nasional Cat Tien di Vietnam, keseluruhan populasi di dunia hanya dijumpai di satu lokasi: Taman Nasional Ujung Kulon, Provinsi Banten. Tidak heran hewan ini tercantum sebagai Yang Sangat Terancam dalam IUCN Red List of Threatened Species [Daftar Merah Spesies Yang Terancam dari IUCN].
Perburuan badak bercula-satu ini secara keseluruhan berhenti di tahun 1990-an, tetapi pelanggaran terhadap hak atas hutan dan ekstraksi ilegal di seputar taman menimbulkan ancaman yang berlangsung terus-menerusPada tahun 1967 ketika sensus badak dilakukan di Ujung Kulon, hanya 25 badak yang ada. Pada tahun 1980, populasi badak bertambah, dan tetap ada pada populasi 50 sampai sekarang. Walaupun badak di Ujung Kulon tidak memiliki musuh alami, mereka harus bersaing untuk memperebutkan ruang dan sumber yang jarang dengan banteng liar dan tanaman Arenga yang dapat menyebabkan jumlah badak tetap berada dibawah kapasitas semenanjung. Ujung Kulon diurus oleh menteri Kehutanan Republik Indonesia. Ditemukan paling sedikit empat bayi badak Jawa pada tahun 2006.

Pertumbuhan populasi badak Jawa di Ujung Kulon
Tahun
Minimum
Maksimum
Rata-rata
21
28
24.5
20
29
24.5
33
42
37.5
53
59
56
35
58
47
Sumber: Strategi Konservasi Badak Indonesia - Dirjen PHPA Dephut RI

Sensus terakhir dilaksanakan tahun 2003 yang melibatkan 70 personel berasal dari BTNUK, WWF, LSM internasional dan lokal, Lembaga Ekologi Universitas Padjadjaran, dan masyarakat sekitar Desa Ujung Jaya serta Tanjung Jaya Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang. Metode yang digunakan adalah penghitungan jejak transek atau jalur pengamatan bersifat permanen yang berada pada 15 lintasan badak. Melalui metode itu dilakukan pengukuran tapak kaki sehingga dapat diketahui ada tidaknya pertambahan populasi.
Metode transek digabungan dengan hasil pengamatan yang dilakukan tim Rhinoceros Monitoring and Protection Unit (RMPU). Tim permanen ini bertugas mencatat temuan badak, baik secara langsung maupun hanya berupa tanda keberadaannya yang ditunjukkan dengan jejak, kotoran, kubangan, air kencing, dan bekas makanan. Data di BTNUK menunjukkan, trend perkembangbiakan badak Sunda mengalami pertumbuhan turun naik. Puncak populasi tertinggi tercatat pada 1981, 1982 dan 1984 dengan jumlah 63 ekor. Habitat badak Sunda tersebar pada areal seluas 38.543 hektare di kawasan tertutup Semenanjung Ujung Kulon.
Wacana 2nd Population
2nd population (populasi kedua) Badak Ujung Kulon sebenarnya merupakan gagasan yang digulirkan pihak WWF sejak tahun 1995. Yakni gagasan tentang kemungkinan untuk membantu perkembang biakan (penambahan habitat) badak. Dengan cara mengambil sepasang badak pilihan, yang atas dasar kajian ilmiah merupakan bibit unggul.
Pemikiran dimaksud dijabarkan dalam beberapa tahapan diantaranya dengan melakukan kajian untuk memilih/menetapkan habitat yang sesuai; pemilihan individu yang cocok sebagai founder (berdasarkan DNA); proses adaptasi, yakni dilokalisir sebelum dipindahkan; proses pemindahan; dan pemantauan pasca pemindahan.
Pemilihan habitat baru ini sendiri terdiri dari 13 ktireria yang ideal. Sedangkan kandidat lokasi yang disebutkan adalah Taman Nasional Gunung Halimun Gunung Salak (TNGHS) seksi Lebak, Taman Nasional Berbak – Westlands International di Jambi dan Rimba Harapan – Birdlife di Jambi. Namun survey yang sudah dilakukan 2 tahun terakhir baru di TNGHS dengan para ilmuwan Institut Pertanian Bogor (IPB). Sedangkan TN Berbak dan Rimba Harapan baru mengandalkan data sekunder dari Birdlife, rapid assessment.
Pemilihan founder sendiri akan didasarkan pada informasi genetik yang akan membangun kerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Columbia University serta memanfaatkan para ahli translokasi dari India dan Nepal. Adapun dalam proses adaptasi, pihak WWF menyebutkan fasilitas semi-captive dan pemantauan kesehatan yang intens serta melihat kemampuan adaptasi/seleksi. Sedangkan dalam proses pemindahan hal yang harus dipersiapkan adalah capture (bius atau perangkap), togging / radio collar serta transportasi dari lokasi ke fasilitas adaptasi dan transportasi dari fasilitas adaptasi ke habitat yang baru. Dalam perencanaan disebutkan juga pemantauan pasca pemindahan, diantaranya protocol pemantauan kesehatan, pemantauan perilaku, rapid response unit di habitat baru, pemantauan home range dan pola makan.
Seperti diungkapkan di awal, gagasan WWF langsung mendapat reaksi keras dari masyarakat Banten termasuk pemerintah daerah setempat. Berita ini sempat mewarnai beberapa media cetak dan elektronik. Secara umum semuanya menolak gagasan tersebut. Alasannya Badak adalah icon Banten-icon Pandeglang. Reaksi ini menandakan betapa masyarakat Banten begitu cinta dan bangga akan Badak Cula Satu yang hanya ada di Ujung Kulon. Akan tetapi rasa bangga dan sikap menolak wacana pemindahan saja tidak cukup untuk melindunginya dari kepunahan. Rasa bangga dan cinta tadi akan sangat bermanfaat bagi badak itu sendiri manakala ditunjukkan dengan adanya langkah konkret yang dilakukan.
Alasan adanya ancaman gempa tektonik yang dapat mengakibatkan tsunami atau anak gunung Krakatau meletus, siapa yang tahu akan bencana itu? Alasan banyaknya pohon langkap yang memunahkan rumput pakan badak, mengapa tidak ditebangi langkap itu? Apa yang sudah BTNUK & WWF lakukan mengantisipasi dominasi langkap di TNUK?
Disebutkan pula bahwa keberadaan banteng saat ini sudah over-population yang menguasai pakan badak, mengapa tidak si banteng saja yang kita pindahkan? Atau dalam gagasan nyeleneh melokalisirnya di suatu areal tertentu yang kemudian dimanfaatkan sebagai sarana untuk mendongkrak dunia pariwisata melalui “Berburu Banteng Ujung Kulon” secara terbatas?
Disadari atau tidak, yang terlupakan dan menjadi ancaman besar lainnya, hemat penulis adalah konflik yang selama ini terjadi antara masyarakat di sekitar (buffer zone) kawasan TNUK dengan aparat Polisi Hutan (Polhut) dari pihak Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK). Ini justru yang menjadi ancaman utama yang harus segera dicarikan jalan penyelesaiannya.
Caranya yang penulis tawarkan adalah dengan melakukan resolusi konflik melalui pendekatan budaya, (bukan pendekatan kelembagaan atau scientific - yang orang awam justru tidak faham sama sekali, apalagi pendekatan represif). Melalui pendekatan ini tentu tidak bisa dilakukan hanya oleh salah satu pihak, BTNUK saja misalnya. Bagaimana konsep konservasi badak bisa dilaksanakan sebagaimana harapan, disinilah kesadaran seluruh stake holders untuk menggunakan pola kolaborasi.
Stake holders dimaksud menurut Prof. Hadi Alikodra dari IPB adalah pemerintah pusat melalui otoritas yang diberikan kepada BTNUK, pemerintah daerah, masyarakat lokal yang langsung menngunakan sumber daya, masyarakat lokal yang memiliki kepentingan secara tidak langsung dengan sumber daya, individu atau group yang secara legal memiliki kegiatan komersial pemanfaatan sumber daya langsung/pengusaha, mereka yang datang untuk memanfaatkan sumber daya yang sering menyebabkan terjadinya kerusakan, penghasil limbah, suppliers, supporter perguruan tinggi, LSM, konservasionis serta konsumen yang menggunakan souvenir, tokoh masyarakat lokal.

K. Taman Nasional Cat Tien
Sedikit anggota R.s. annamiticus yang tersisa hidup di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Badak ini pernah menyebar di Asia Tenggara, setelah perang Vietnam, badak Jawa dianggap punah. Taktik digunakan pada pertempuran menyebabkan kerusakan ekosistem daerah penggunaan Napalm, herbisida dan defolian dari Agen Oranye, pengeboman udara dan penggunaan ranjau darat. Perang juga membanjiri daerah dengan senjata. Setelah perang, banyak penduduk desa miskin, yang sebelumnya menggunakan metode seperti lubang perangkap, kini memiliki senjata mematikan yang menyebabkan mereka menjadi pemburu badak yang efisien.
Dugaan kepunahan subspesies mendapat tantangan ketika pada tahun 1988, seorang pemburu menembak betina dewasa yang menunjukan bahwa spesies ini berhasil selamat dari perang. Pada tahun 1989, ilmuwan meneliti hutan Vietnam selatan untuk mencari bukti badak lain yang selamat.
Jejak kaki badak segar yang merupakan milik paling sedikit 15 badak ditemukan di sepanjang sungai Dong Nai. Karena badak, daerah tempat mereka tinggal menjadi bagian Taman Nasional Cat Tien tahun 1992. Populasi mereka dikhawatirkan berkurang di Vietnam, dengan pelindung alam memperkirakan bahwa paling sedikit 308 badak yang mungkin tanpa jantan selamat.

L.  Penangkaran
Tidak terdapat satupun badak Jawa di kebun binatang. Pada tahun 1800-an, paling sedikit empat badak dipamerkan di Adelaide, Kolkata dan London. Paling sedikit 22 badak Jawa telah didokumentasikan telah disimpan di penangkaran, dan mungkin bahwa jumlahnya lebih besar karena spesies ini kadang-kadang salah ditafsirkan dengan badak India.
Badak Jawa tidak pernah ditangani dengan baik di penangkaran: badak tertua yang hidup hanya mencapai usia 20 tahun, sekitar setengah dari usia yang dapat dicapai badak di alam bebas. Badak Jawa terakhir yang ada di penangkaran mati di Kebun Binatang Adelaide, Australia tahun 1907, tempat spesies tersebut sedikit diketahui karena telah ditunjukan sebagai badak India.
Akibat dari program panjang dan mahal tahun 1980-an dan 1990-an untuk mengembangbiakan badak Sumatra di kebun binatang gagal, usaha untuk melindungi badak Jawa di kebun binatang tak dapat dipercaya.

M.     Usaha Persiapan Habitat Kedua
Badak Jawa yang hidup berkumpul di satu kawasan utama sangat rentan terhadap kepunahan yang dapat diakibatkan oleh serangan penyakit, bencana alam seperti tsunami, letusan gunung Krakatau, gempa bumi. Selain itu, badak ini juga kekurangan ruang jelajah dan sumber akibat invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng.
Penelitian awal WWF mengidentifikasi habitat yang cocok, aman dan relatif dekat adalah Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat, yang dulu juga merupakan habitat badak Jawa. Jika habitat kedua ditemukan, maka badak yang sehat, baik, dan memenuhi kriteria di Ujung Kulon akan dikirim ke wilayah yang baru. Habitat ini juga akan menjamin keamanan populasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar